Wednesday, December 17, 2014

Anak Difabel

Masih ingat bagaimana Dewi Yull mendukung alm.putri pertamanya mengikuti passionnya melukis. Dewi Yull dan suaminya saat itu,em,lupa namanya sangat mendukung kegiatan putrinya itu. Dengan bangga dan penuh kasih, Dewi Yull menjelaskan bakat anaknya tersebut yang membuat sang putri menjadi terkenal sebagai seniman. Dan sang putri diperlakukan juga sebagaimana anak muda lainnya padahal jelas - jelas putrinya tersebut terdapat ketidaksempurnaan, jika menurut istilah saya. Saya merasa salut kepada Dewi Yull hingga saat ini, tak semua orangtua mampu bersikap dan bertegas hati sedemikian. Saya salut sekali. 

Selain itu, saya mempunyai seorang teman saat di Bandung dulu yang mampu melakukan banyak hal yang saya sendiri tidak pernah mampu bisa semisal menjahit lalu menyetir dengan handal (yang ini saya bisa mengimbanginya..hhahahaa...maap ya jeung)..Tapi,saya selalu salut dan bangga punya teman seperti dia.. Dan terlebih sekarang dia mempunyai dua putra-putri,lengkaplah sudah..Oh, ditambah lagi, sang suami sudah bertugas di Kanwil yang sama dengan dia semakin melengkapi kesempurnaan hidupnya.

Satu yang saya bisa pelajari adalah Mencoba semuanya dan tidak menghambat karena ketidaksempurnaan. Saya membaca artikel bahwa kerap kali anak - anak difabel dikurung di dalam rumah karena orang tua merasa malu dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan di sejumlah desa ditemukan kasus anak difabel yang dirantai atau dipasung. Semuanya bermula karena kurang informasi dan edukasi.

Anak tak mendapat haknya untuk memperoleh fasilitas kesehatan, pusat rehabilitasi atau sekolah. Padahal, anak difabel seharusnya memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. Mereka berhak memiliki identitas, mendapatkan pendidikan layak dan diterima di lingkungan sekitar.

Akibat rasa malu orang tua acap kali menunjukkan kepedulian dengan cara yang salah. Contoh sederhana, ayah dan ibu tak pernah mengantar atau mendampingi anaknya terapi. Padahal, anak tidak hanya memerlukan terapi atau bentuk layanan kesehatan tetapi juga kasih sayang, belaian tangan, canda tawa dan cinta dari ibu serta ayahnya. Sebab yang paling paham kondisi anak secara psikis dan fisik adalah orang tuanya bukan orang lain.

Kenyataan lain di Indonesia adalah fasilitas dan pelayanan kesehatan, pendidikan dan fasilitas umum masih jauh dari memadai bagi anak - anak berkebutuhan khusus. Padahal, hak mereka sudah diatur dalam undang - undang, tetapi penerapannya masih jauh dari harapan. Masih sedikit sekali sekolah yang bisa menerima anak-anak difabel. Tenaga pengajar pun belum banyak yang mumpumi mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Di samping itu, masyarakat juga kerap membully anak berkebutuhan khusus. Persepsi mengenai anak difabel tidak bisa apa-apa dan tempatnya hanya di rumah atau sekolah luar biasa (SLB) masih kuat melekat di benak kebanyakan orang.

Bagaimana bentuk dukungan kepada anak-anak istimewa ini?
  • Apakah sudah mengetahui buah hati Anda? Rata-rata anak yang dibawa ke Rumah Autis belum pernah mendapatkan diagnosis apa pun. Orang tuanya bahkan tidak berusaha untuk mencari tahu mengenai kondisi anaknya. Padahal itu diperlukan dalam membantu pengasuhan anaknya.
  • Menyimpan seluruh jejak rekam medis anak. Simpan semua dokumen agar saat memeriksakan anak, dokter lebih bisa komprehensif mengamati perkembangan anak. Rekam jejak ini juga penting untuk keperluan mendaftarkan anak ke sekolah umum atau lembaga pendidikan lainnya.
  • Banyak orang tua yang tidak bisa menerima kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Jika fondasi rumah tangga kurang kuat, perceraian bisa saja terjadi. Anak pun menjadi korbannya, tak mendapat perhatian dari orang tua. Sebagai seorang dewasa dan berpendidikan, orang tua harus bersikap bijaksana dan bertanggung jawab. Anak adalah anugerah dan harus dirawat sebaik mungkin.
Disadur dari Suplemen Republika parenting "Hak Anak Difabel"  Selasa, 16 Desember 2014

No comments:

Post a Comment